Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani pada hakikatnya
adalah proses pendidikan yang
memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam
kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan
jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada
hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan
mentalnya.
Pada kenyataannya, pendidikan jasmani
adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya
adalah
peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjas berkaitan dengan hubungan
antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan
tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh perkembangan
fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia
itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti
pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia.
Per definisi, pendidikan jasmani
diartikan dengan berbagai ungkapan dan kalimat. Namun esensinya sama, yang jika
disimpulkan bermakna jelas, bahwa pendidikan jasmani memanfaatkan alat fisik
untuk mengembangan keutuhan manusia. Dalam kaitan ini diartikan bahwa melalui
fisik, aspek mental dan emosional pun turut terkembangkan, bahkan dengan
penekanan yang cukup dalam. Berbeda dengan bidang lain, misalnya pendidikan
moral, yang penekanannya benar-benar pada perkembangan moral, tetapi aspek
fisik tidak turut terkembangkan, baik langsung maupun secara tidak langsung.
Karena hasil-hasil kependidikan dari
pendidikan jasmani tidak hanya terbatas pada manfaat penyempurnaan fisik atau
tubuh semata, definisi penjas tidak hanya menunjuk pada pengertian tradisional
dari aktivitas fisik. Kita harus melihat istilah pendidikan jasmani pada bidang
yang lebih luas dan lebih abstrak, sebagai satu proses pembentukan kualitas
pikiran dan juga tubuh.
Sungguh, pendidikan jasmani ini
karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yang
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik
tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga domain kependidikan:
psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer,
penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat
pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat
jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano.
Kesatuan Jiwa dan Raga
Salah satu pertanyaan sulit di
sepanjang jaman adalah pemisahan antara jiwa dan raga atau tubuh. Kepercayaan
umum menyatakan bahwa jiwa dan raga terpisah, dengan penekanan berlebihan pada
satu sisi tertentu, disebut dualisme, yang mengarah pada penghormatan lebih
pada jiwa, dan menempatkan kegiatan fisik secara lebih inferior.
Pandangan yang berbeda lahir dari
filsafat monisme, yaitu suatu kepercayaan yang memenangkan kesatuan tubuh dan
jiwa. Kita bisa melacak pandangan ini dari pandangan Athena Kuno, dengan
konsepnya “jiwa yang baik di dalam raga yang baik.” Moto tersebut sering
dipertimbangkan sebagai pernyataan ideal dari tujuan pendidikan jasmani
tradisional: aktivitas fisik mengembangkan seluruh aspek dari tubuh; yaitu
jiwa, tubuh, dan spirit. Tepatlah ungkapan Zeigler bahwa fokus dari bidang
pendidikan jasmani adalah aktivitas fisik yang mengembangkan, bukan semata-mata
aktivitas fisik itu sendiri. Selalu terdapat tujuan pengembangan manusia dalam
program pendidikan jasmani.
Akan tetapi, pertanyaan nyata yang
harus dikedepankan di sini bukanlah ‘apakah kita percaya terhadap konsep
holistik tentang pendidikan jasmani, tetapi, apakah konsep tersebut saat ini
bersifat dominan dalam masyarakat kita atau di antara pengemban tugas penjas
sendiri?
Dalam masyarakat sendiri, konsep dan
kepercayaan terhadap pandangan dualisme di atas masih kuat berlaku. Bahkan
termasuk juga pada sebagian besar guru penjas sendiri, barangkali pandangan
demikian masih kuat mengakar, entah akibat dari kurangnya pemahaman terhadap
falsafah penjas sendiri, maupun karena kuatnya kepercayaan itu. Yang pasti,
masih banyak guru penjas yang sangat jauh dari menyadari terhadap peranan dan
fungsi pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, sehingga proses pembelajaran
penjas di sekolahnya masih lebih banyak ditekankan pada program yang berat
sebelah pada aspek fisik semata-mata. Bahkan, dalam kasus Indonesia, penekanan
yang berat itu masih dipandang labih baik, karena ironisnya, justru program
pendidikan jasmani di kita malahan tidak ditekankan ke mana-mana. Itu karena
pandangan yang sudah lebih parah, yang memandang bahwa program penjas dipandang
tidak penting sama sekali.
Nilai-nilai yang dikandung penjas
untuk mengembangkan manusia utuh menyeluruh, sungguh masih jauh dari kesadaran
dan pengakuan masyarakat kita. Ini bersumber dan disebabkan oleh kenyataan
pelaksanaan praktik penjas di lapangan. Teramat banyak kasus atau contoh di
mana orang menolak manfaat atau nilai positif dari penjas dengan menunjuk pada
kurang bernilai dan tidak seimbangnya program pendidikan jasmani di lapangan
seperti yang dapat mereka lihat. Perbedaan atau kesenjangan antara apa yang
kita percayai dan apa yang kita praktikkan (gap antara teori dan praktek)
adalah sebuah duri dalam bidang pendidikan jasmani kita.
Hubungan Pendidikan Jasmani dengan
Bermain dan Olahraga
Dalam memahami arti pendidikan
jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan antara bermain (play) dan
olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering
digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu
para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani
secara lebih konseptual.
Bermain pada intinya adalah aktivitas
yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang
bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu
bersifat fisik. Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani,
meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam keduanya.
Olahraga di pihak lain adalah suatu
bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli
memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi,
yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi,
pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga
melibatkan aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga
sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa
aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu,
sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan,
misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam
aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama
kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga
adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa
memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi
semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi
olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain;
karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
Di pihak lain, pendidikan jasmani
mengandung elemen baik dari bermain maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti
hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara
keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah
aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan
Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk
mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan olahraga, meskipun
keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Bermain, olahraga dan pendidikan
jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara
pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan.
Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan,
seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya,
olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak
punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga
dan bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan,
untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan
pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus
beriringan bersama.
Lalu bagaimana dengan rekreasi dan
dansa (dance)?
Para ahli memandang bahwa rekreasi
adalah aktivitas untuk mengisi waktu senggang. Akan tetapi, rekreasi dapat pula
memenuhi salah satu definisi “penggunaan berharga dari waktu luang.” Dalam
pandangan itu, aktivitas diseleksi oleh individu sebagai fungsi memperbaharui
ulang kondisi fisik dan jiwa, sehingga tidak berarti hanya membuang-buang waktu
atau membunuh waktu. Rekreasi adalah aktivitas yang menyehatkan pada aspek
fisik, mental dan sosial. Jay B. Nash menggambarkan bahwa rekreasi adalah
pelengkap dari kerja, dan karenanya merupakan kebutuhan semua orang.
Dengan demikian, penekanan dari
rekreasi adalah dalam nuansa “mencipta kembali” (re-creation) orang tersebut,
upaya revitalisasi tubuh dan jiwa yang terwujud karena ‘menjauh’ dari aktivitas
rutin dan kondisi yang menekan dalam kehidupan sehari-hari. Landasan
kependidikan dari rekreasi karenanya kini diangkat kembali, sehingga sering
diistilahkan dengan pendidikan rekreasi, yang tujuan utamanya adalah mendidik
orang dalam bagaimana memanfaatkan waktu senggang mereka.
Sedangkan dansa adalah aktivitas gerak
ritmis yang biasanya dilakukan dengan iringan musik, kadang dipandang sebagai
sebuah alat ungkap atau ekspresi dari suatu lingkup budaya tertentu, yang pada
perkembangannya digunakan untuk hiburan dan memperoleh kesenangan, di samping
sebagai alat untuk menjalin komunikasi dan pergaulan, di samping sebagai
kegiatan yang menyehatkan.
Di Amerika, dansa menjadi bagian dari
program pendidikan jasmani, karena dipandang sebagai alat untuk membina
perbendaharaan dan pengalaman gerak anak, di samping untuk meningkatkan
kebugaran jasmani serta pewarisan nilai-nilai. Meskipun menjadi bagian penjas,
dansa sendiri masih dianggap sebagai cabang dari seni. Kemungkinan bahwa dansa
digunakan dalam penjas terutama karena hasilnya yang mampu mengembangkan
orientasi gerak tubuh. Bahkan ditengarai bahwa aspek seni dari dansa dipandang
mampu mengurangi kecenderungan penjas agar tidak terlalu berorientasi
kompetitif dengan memasukkan unsur estetikanya. Jadi sifatnya untuk melengkapi
fungsi dan peranan penjas dalam membentuk manusia yang utuh seperti diungkap di
bagian-bagian awal naskah ini.
diposting dari :
http://www.pbprimaciptautama.blogspot.com/2007/06/falsafah-pendidikan-jasmani.html
0 komentar:
Posting Komentar